Banjaran-Selasa, 15 Juli 2025 bertepatan dengan 19 Muharram 1447 H, sebuah pernikahan yang penuh kehangatan dan makna digelar di Desa Girimulya, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka. Prosesi akad nikah ini dipimpin langsung oleh Kepala KUA Banjaran, Aang Kurniawan, S.Ag., pada pukul 13.00 WIB.

Pasangan pengantin yang melangsungkan akad nikah adalah Abdul Robi Hanafi asal Jatinangor dan Nur Ridha Pinandita dari Girimulya, Banjaran. Suasana berlangsung khidmat dan sakral, menandai momen sakral penyatuan dua insan dalam ikatan pernikahan yang sah secara agama dan negara.
Yang bertindak sebagai khatib nikah adalah Sofwan Farohi, S.H.I., Penghulu KUA Banjaran. Dalam khutbahnya, beliau menyampaikan pesan penting tentang kesabaran dalam berumah tangga. Ia menegaskan bahwa segala persoalan dalam kehidupan rumah tangga hendaknya dikembalikan kepada Allah SWT. “Jika ada masalah, sampaikanlah kepada Allah, bukan kepada media sosial. Karena membuka permasalahan rumah tangga di ruang publik justru berpotensi membuka aib keluarga dan memperkeruh keadaan,” tuturnya.

Setelah prosesi akad dan penandatanganan dokumen resmi pencatatan pernikahan, Kepala KUA Banjaran, Aang Kurniawan, memberikan nasihat penutup yang sangat menyentuh. Ia mengajak kedua mempelai untuk senantiasa bersyukur, seraya memberi analogi sederhana namun dalam maknanya:
“Dalam sehari kita diberi waktu 86.400 detik oleh Allah. Jika ada yang menyakitkan hati kita selama 10 detik saja, maka janganlah kita menghabiskan sisa waktu itu hanya untuk memikirkan hal yang menyakitkan tersebut. Masih ada 86.390 detik yang layak kita syukuri. Jangan biarkan 10 detik itu merusak semuanya dan membuat kita kufur nikmat.”
Pencatatan Nikah: Legalitas yang Bermakna
Pernikahan ini bukan hanya sah secara agama, tetapi juga dicatat secara resmi oleh negara, menandakan pentingnya legalitas pernikahan dalam kehidupan masyarakat. Pencatatan pernikahan merupakan amanat peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum bagi pasangan suami istri serta keturunannya.
Regulasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019, yang menyatakan bahwa setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 5-6, yang menyatakan bahwa pencatatan nikah dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama. PMA Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan, yang menjadi acuan teknis terbaru bagi penghulu dan petugas pencatatan nikah dalam pelayanan administrasi pernikahan.
Dengan pencatatan yang resmi dan tertib, pasangan suami istri akan memperoleh Akta Nikah yang sah dan diakui negara, sebagai dasar penting dalam mengakses berbagai hak sipil dan administratif, termasuk pengurusan kartu keluarga, akta kelahiran anak, dan warisan.
Kesederhanaan yang Menyentuh
Pernikahan Abdul Robi dan Nur Ridha menjadi contoh bahwa pernikahan tidak harus mewah untuk bermakna. Kesederhanaan dalam prosesi justru memperkuat nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan dalam ikatan pernikahan. Dibalut doa, nasihat, dan cinta, pernikahan ini menjadi pengingat bahwa nikah adalah ibadah, dan pencatatan resmi adalah bagian dari ketaatan terhadap syariat serta regulasi negara.
Semoga pasangan ini menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, dan menjadi inspirasi bagi masyarakat tentang pentingnya pernikahan yang sah, berkah, dan penuh syukur.

Leave a Reply